Sore itu di hari Kamis, adik bungsuku sebut saja ia “Ra” meminta uang kepada Ibu untuk membeli tipe-x kertas untuk menghapus kesalahan tulisan di buku tugas sekolahnya.
Karena kami satu kamar, Ra seringkali bercerita, membantu, meminta, dan beberapa kali juga berkeluh kesah begitu pula dengan diriku. Ra saat ini ia sedang duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4.
Karena kami satu kamar, Ra seringkali bercerita, membantu, meminta, dan beberapa kali juga berkeluh kesah begitu pula dengan diriku. Ra saat ini ia sedang duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 4.
Jadi bisa dibilang cukup banyak kebutuhan sekolahnya, dan Ra ini bisa dibilang ia terkadang sering asal saja atau tidak teratur menaruh barang miliknya sehingga yang terjadi adalah sering lupa, terburu-buru ketika ingin menggunakan pakaian/peralatan sehari-harinya.
Dua hari sebelumnya, Ra bercerita bahwa ada kawan kelasnya yang baik hati telah memberikan tipe-x kepadanya, alasan kawannya memberi tipe-x karena tipe-x milik kawannya itu terlalu banyak. Aku tersenyum, bertanya sekaligus tertawa mendengar ceritanya.
Dua hari sebelumnya, Ra bercerita bahwa ada kawan kelasnya yang baik hati telah memberikan tipe-x kepadanya, alasan kawannya memberi tipe-x karena tipe-x milik kawannya itu terlalu banyak. Aku tersenyum, bertanya sekaligus tertawa mendengar ceritanya.
Kemudian pada sore itu, Ra sangat membutuhkan tipe-x karena esok hari adalah hari pengumpulan tugas sekolahnya. Aku tidak memiliki tipe-x, Al (adik pertama), Ibu, Ayah juga sama tidak memiliki tipe-x.
Lalu, Ra bercerita bahwa ia pernah melihat label kertas yang dijual di warung depan rumah, namun ketika Ra datang ke warung tersebut, warung depan rumah sudah tidak menjual label kertas lagi.
Lalu, Ra bercerita bahwa ia pernah melihat label kertas yang dijual di warung depan rumah, namun ketika Ra datang ke warung tersebut, warung depan rumah sudah tidak menjual label kertas lagi.
Ra tak putus asa, ia mencoba ke warung yang lebih besar dan tak begitu jauh dari rumah, ternyata di warung tersebut tidak ada label ukuran kecil yang ia cari, di warung itu hanya ada label berukuran besar.
Kawan pasti tau label yang kumaksud, berbahan kertas, berwarna putih dan berguna sekali dalam membantu kita menghapus kenangan, eh tidak maksudku menghapus kesalahan tulisan di kertas yang sedang kita pakai dalam mengerjakan tugas/suatu pekerjaan.
Kawan pasti tau label yang kumaksud, berbahan kertas, berwarna putih dan berguna sekali dalam membantu kita menghapus kenangan, eh tidak maksudku menghapus kesalahan tulisan di kertas yang sedang kita pakai dalam mengerjakan tugas/suatu pekerjaan.
Masih ada satu warung tersisa yang berada tak jauh dari rumah, warung itu kusingkat saja ya, sering disebut “Warung Mama Han” karena memang warung tersebut milik seorang Ibu yang putranya bernama Han.
Namun, Ra urung dan malas datang ke warung tersebut katanya karena pernah ditanyakan oleh seorang Bapak yang bertanya ketika Ra sedang membeli label di warung tersebut.
Ra bercerita bahwa bapak itu bertanya “Buat apa beli label besar dek?” Itulah yang membuat Ra urung datang kembali ke warung itu.
Namun, Ra urung dan malas datang ke warung tersebut katanya karena pernah ditanyakan oleh seorang Bapak yang bertanya ketika Ra sedang membeli label di warung tersebut.
Ra bercerita bahwa bapak itu bertanya “Buat apa beli label besar dek?” Itulah yang membuat Ra urung datang kembali ke warung itu.
Kemudian ada seorang laki-laki berusia 50 tahun memakai koko berwarna putih dan sarung langsung merespon dengan cepat cerita yang disampaikan oleh anak perempuan berumur 9 tahun itu, laki-laki yang kumaksud adalah Ayah.
Ayah langsung merespon dengan cepat dan berkata “Sudah sini sama Ayah saja belinya, gak akan ditanya-tanya kalau belinya sama Ayah”
Ra yang mendengar perkataan itu, seketika berubah, perasaan enggan berganti menjadi yakin, perasaan takut berganti menjadi berani, ya itulah seorang Ayah yang berusaha senantiasa ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Beberapa menit kemudian, Ra dan Ayah sampai kerumah namun Ra tidak membawa label kertas putih yang sedari tadi dicari-cari, ia membawa dua tipe-x yang bisa dibilang modelnya baru, bentuk kemasannya baru berbeda dengan tipe-x cair yang sering kupakai dijaman dulu, yang kemasannya berwarna merah/biru.
Ayah langsung merespon dengan cepat dan berkata “Sudah sini sama Ayah saja belinya, gak akan ditanya-tanya kalau belinya sama Ayah”
Ra yang mendengar perkataan itu, seketika berubah, perasaan enggan berganti menjadi yakin, perasaan takut berganti menjadi berani, ya itulah seorang Ayah yang berusaha senantiasa ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Beberapa menit kemudian, Ra dan Ayah sampai kerumah namun Ra tidak membawa label kertas putih yang sedari tadi dicari-cari, ia membawa dua tipe-x yang bisa dibilang modelnya baru, bentuk kemasannya baru berbeda dengan tipe-x cair yang sering kupakai dijaman dulu, yang kemasannya berwarna merah/biru.
Aku si sulung yang mau beli apa-apa saja banyak pertimbangan, aku si sulung yang sering kelewat hemat/terlalu ngirit ya. Langsung saja kaget dan bertanya melihat adikku Ra membawa dua buah tipe-x yang modelnya baru.
“Apa itu kok kamu beli dua?”
Ra berkata “Iya ini buat kamu”
“Apa itu kok kamu beli dua?”
Ra berkata “Iya ini buat kamu”
Aku dibuat kaget olehnya, kenapa tiba-tiba untuk diriku padahal aku tak minta.
"Berapa harga satuannya?" tanyaku
"Satunya 6.000 rupiah"
“Ini beli dua, satu buat aku, satu lagi buat kamu dibeliin Ayah” kata Ra
"Berapa harga satuannya?" tanyaku
"Satunya 6.000 rupiah"
“Ini beli dua, satu buat aku, satu lagi buat kamu dibeliin Ayah” kata Ra
Maa syaa Allah Tabarakallah merinding, terharu, padahal aku tak meminta, tapi ternyata Ayah begitu memperhatikan padahal aku bisa dibilang sudah jarang menggunakan tipe-x karena memang kegiatanku saat ini menyusun skripsi dan sedikit jarang tulis menulis, padahal ada adikku Al yang saat ini masih bersekolah kelas XII SMK. Tapi ternyata Ayah mengutamakan dan memperhatikanku.
Lantas saja aku langsung bertanya kepada Ra, “Memang gimana ceritanya? Kamu bilang apa ke Ayah pada saat di warung Mama Han?”
Ra berkata, “Aku bilang ke Ayah, ayah beli tipe-x nya satu aja. Tapi kata Ayah “Sudah beli dua aja, satu buat kamu satunya buat Kakak”
Kawan, betapa sedihnya dan terharu ketika adikku bercerita bahwa Ayah yang menyuruhnya untuk membeli dua, karena tipe-x satunya lagi untukku.
Kasih sayang seorang Ayah memang tidak pernah terucap dari mulutnya, namun kasih sayang itu tergambarkan dan terbukti dengan manis dan tulus tindakannya.
Ayahku dengan sikapnya yang tidak begitu banyak bicara, namun tindakannya yang menunjukkan rasa cinta, kasih sayang, senantiasa berusaha memberikan yang terbaik untuk putra-putrinya.
“Seorang Ayah, tak terucap kata cinta dan kasih sayang dari mulutnya. Namun kasih sayang itu tergambarkan dari manis dan tulus tindakannya”
Aku rasa, tak sedikit juga Ayah dari kawan-kawan yang memiliki sifat yang sama seperti Ayahku. Tidak terlalu banyak bicara, tidak mengumbar janji, namun tindakannya yang menggambarkan ketulusan dan besar kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Apakah kawan juga merasakan hal yang sama denganku?
Bukankah seorang ayah memang seperti itu dalam menunjukkan kasih sayangnya?
Sudahkah kita membuatnya bangga?
Sudahkah kita membuatnya bahagia?
Semoga Allah memudahkan langkah kita agar bisa membahagiakan Ayah Bunda di dunia dan di akhirat semoga Allah balas dengan kebaikan, kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk Ayah dan Bunda Aamiin Allahumma Aamiin
Sudahkah kita membuatnya bangga?
Sudahkah kita membuatnya bahagia?
Semoga Allah memudahkan langkah kita agar bisa membahagiakan Ayah Bunda di dunia dan di akhirat semoga Allah balas dengan kebaikan, kebahagiaan di dunia dan di akhirat untuk Ayah dan Bunda Aamiin Allahumma Aamiin
-Amanda Kinta Nur-
Bekasi, 09/09/2019
Comments
Post a Comment